Saya lahir pada 29 Januari 1962, hari Senin. Ayah
saya, waktu saya lahir adalah seorang pemuda desa.
Beliau merantau ke Bandung untuk melanjutkan
pendidikan, lalu menjadi tentara sesudah menikah dan
memiliki anak. Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga biasa.
Saya sendiri lahir dan dibesarkan disebuah lingkungan
militer. Tepatnya saya lahir disebuah mes tentara.
Dari lingkungan seperti inilah saya dibentuk. Sejak
saya, waktu saya lahir adalah seorang pemuda desa.
Beliau merantau ke Bandung untuk melanjutkan
pendidikan, lalu menjadi tentara sesudah menikah dan
memiliki anak. Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga biasa.
Saya sendiri lahir dan dibesarkan disebuah lingkungan
militer. Tepatnya saya lahir disebuah mes tentara.
Dari lingkungan seperti inilah saya dibentuk. Sejak
kecil saya sudah mengenal makna kedisplinan. Misalnya
saja saya harus tidak membunyikan sandal ketika
berjalan. Juga saat saya menutup pintu atau sedang
berada di ruang makan. Hal-hal itu layak dijalankan
dengan penuh kedisplinan.
HUBUNGAN ANTAR SAUDARA
Ayah dan ibu sayalah yang mendidik saya untuk mengenal
kedisplinan. Saya juga merasakan bahwa saya senantiasa
dilatih untuk memegang kesetiaan. Bila saya dan
adik-adik saya berkelahi, yang dihukum bukan satu
orang tetapi semuanya. Mengapa? Ini lantaran anak
laki-lakinya berjumlah tiga orang dan satu lagi
seorang wanita.
Keadaan seperti itu sangat membekas di hati saya
sehingga saya bersama saudara-saudara kandung saya
sulit sekali berpisah. Saya mengalami kesulitan untuk
jauh dari adik-adik saya. Maksud saya, jauh tidak
secara fisik namun secara batin. Misalnya secara
batiniah, saya tidak rela adik-adik saya tidak
memiliki rumah ataupun kendaraan. Saya dan adik-adik
ada keterikatan batin yang sangat tinggi.
Namun demikian, saya dan adik-adik saya sangat menjaga
harga diri masing-masing. Adik-adik saya tidak ada
yang berani meminta sesuatu kepada saya. Ini lantaran,
ya itu tadi, harga diri menjadi hal yang sangat
ditekankan dalam menjalani hidup.
Inilah etika keluarga yang senantiasa kami junjung
tinggi. Masing-masing dari kami sangat menghormati
hubungan kami yang dilandasi tidak saling
meminta.Keadaan seperti ini sungguh membekas didalam
diri saya. Dan apa yang saya alami di dalam keluarga
saya ini saya terapkan di lingkungan pesantren saya.
Misalnya saja, suatu ketika anak saya terlambat
mendaftar untuk mengikuti pesantren kilat di DT. Saya
pun tidak ingin memanfaatkan posisi saya agar anak
saya diprioritaskan. Meskipun anak saya menangis, saya
tetap tidak mau meminta anak saya diizinkan untuk
diterima.
PENDIDIKAN DAN BISNIS
Saya menempuh pendidikan sebagaimana anak-anak lain
menempuhnya. Yaitu melalui SD Negeri, SMP Negeri 12
hingga SMA Negeri di Bandung. Saya juga sempat kuliah
di PAAP Unpad dan juga disebuah universitas yang
sekarang bernama Unjani (Universitas Jendral Ahmad
Yani). Di Unjani saya menempuh program sarjana muda.
Yang perlu saya ceritakan juga mengenai diri saya
adalah sejak kecil saya suka berjualan.Pokoknya setiap
ada acara disekolah misalnya, saya suka berjualan.
Yang ada dikepala saya waktu itu hanya satu kata:
Bisnis. Begitu juga saat di SMA 5. Meskipun kata orang
SMA 5 termasuk sekolah elite, saya tetap tidak
meninggalkan kesukaan saya berjualan. Waktu saya
bersekolah di tinggat SMA itulah saya malah membuka
taman bacaan dan mengkreditkan kaos ke teman-teman
saya.
Ketika kuliah, saya juga tetap berbisnis. Kuliah saya
di PAAP Unpad jebol gara-gara waktu itu saya
mendapatkan order menyablon perlengkapan untuk
keperluan pemilu. Di kampus Unjani juga begitu.
Pagi-pagi saya sudah berjualan roti. Roti yang saya
jual saya gendong dengan menggunakan ransel. Saya bawa
pakai sepeda. Waktu itu, saya menggunakan sepeda saat
kuliah di Unjani. Dan pada siang harinya, saya
memberikan les kepada anak-anak SMA. Waktu itu materi
yang saya berikan adalah matematika dan bahasa
Inggris. Dengan memberikan les ini, saya juga ikut
belajar meningkatkan kemampuan saya di bidang yang
saya ajarkan. Dan pada sore hari, saya membantu
mmbungkusi kacang untuk menambah pemasukan.
Seluruh hasil kerja saya itu akhirnya membuahkan
sesuatu. Saya kemudian dapat membeli mobil angkutan
umum. Saya kadang menjadi sopir angkutan kota. Oh ya,
bila ada acara wisuda, saya juga berjualan baterai dan
film. Ini hasilnya lumayan. Selain itu, saya juga
ngamen. Saya ngamen berkeliling dari satu rumah makan
ke rumah makan yang lain. Saat saya memutuskan untuk
ngamen ini sebenarnya tujuan saya tidak mencari uang.
Saya ingin berlatih dalam berhadapan dengan orang
lain. Tapi ya lumayan juga mendapatkan uang.
Disamping aktif berjualan, di kampus saya aktif pula
berorganisasi. Meskipun tubuh saya kecil, saya sering
menjadi ketua. Waktu ikut resimen mahasiswa (menwa) di
kampus, saya sempat menjadi komandan. Saya juga sempat
menjadi ketua senat mahasiswa. Lalu di bidang seni,
saya juga menekuninya. Saya suka menyanyi, menggambar
dan berpuisi. Sehingga di kampus kadang-kadang saya
menjadi ketua yang kurang disukai. Mengapa? Ya
lantaran, misalnya senat mengadakan lomba pidato,
sayalah yang memenangkannya. Di lain waktu ada lomba
mencipta lagu, saya lagi yang memenangkannya. Jadi di
kalangan teman-teman, saya sering dijuluki dengan
orang yang tidak mau setengah-setengah. Bila saya
menginginkan sesuatu, saya akan memperjuangkan secara
habis-habisan hingga meperoleh yang terbaik darinya.
Di segi prestasi akademik, alhamdulillah baik. Sejak
kecil saya senantiasa masuk peringkat yang lumayan.
Misalnya waktu SD, saya menjadi siswa berprestasi
terbaik kedua dengan selisih hanya satu nilai dari
sang juara. Dan ketika kuliah, nilai akademik saya
tetap terjaga dengan baik sehingga saya sempat
terpilih untuk mewakili kampus dalam pemilihan
mahasiswa teladan. Ringkasnya, banyak prestasi yang
saya buat di masa saya masih remaja dan beranjak
sebagai pemuda.
BELAJAR KEPADA ADIK
Di rumah saya itu pulalah saya kemudian menjumpai adik
saya yang nomer tida yang keadaan fisiknya lemah
sekali. Dimasa kecilnya, adik saya itu diambil sumsum
tulang belakangnya lantaran sakit. Kalau tak salah,
sakit step. Jadi, adik saya itu katanya mengalami
pengeringan sumsum. Perlahan sekali mata adik saya
menjadi juling. Separuh tubuhnya kaku. Jalannya pun
tidak normal, yaitu dengan menggeserkan tubuhnya.
Disinilah saya seperti menjumpai sebuah kehidupan yang
lain daripada yang lain. Dibalik segala kelemahannya
sebagai manusia saya melihat adik saya itu sebagai
orang hebat. Diantara kita sekeluarga, adik saya itu
paling shaleh. Pemahaman agamanya, menurut saya
terbaik diantara kami sekeluarga. Dan yang paling
mengherankan saya, dia itu bicaranya bagus. Pokoknya
berbobotlah.
Saya ini pernah menyabet juara pidato di kampus. Saya
juga dikenal sebagai pembicara yang mampu mempengaruhi
orang lain. Namun, bila dibandingkan dengan adik saya,
saya kalah jauh. Kata-kata yang diucapkan adik saya
ini lebih bersih ketimbang kata-kata saya. Saya
merasakan sekali adik saya ini memiliki daya gugah.
Saya heran sekali tentang ini.
Pokoknya, kalau dia ngomong saya merasa kalah. Saya
terus merenungkan tentang hal ini. Suatu ketika, dia
memberikan nasihat yang sangat mengesankan saya. Kalau
tak salah, dia berkata begini,"Aa itu tidak akan
pernah bahagia, kecuali Aa mengenal dan mencintai
Allah. Dan Aa tidak akan pernah mencapai kemuliaan
yang hakiki, kecuali Aa mengenal dan meniru
Rasulullah".
Sayalah yang kemudian mengantar adik saya yang malah
terus rajin kuliah di jurusan Ekonomi Unpad. Saya
senantiasa menggendongnya untuk menuju ruang
kuliahnya. Saya kemudian tidur satu kamar dengan adik
saya ini. Dia tak kenal menyerah,padahal keadaannya
terus melemah. Duduk pun sudah tidak bisa. Tangannya
pun lama-kelamaan sudah susah bergerak. namun, semua
itu tidak menghalanginya untuk tidak tersenyum. Dia
senantiasa menampakkan wajah yang ceria.
Jadi, dengan keadaan adik saya seperti itu saya bisa
belajar banyak. Saya waktu itu dipuji sana-sini. Saya
merasakan sekali bahwa adik saya tiu jauh lebih besar
daripada saya. Apa yang sudah saya capai tampak kecil
dibandingkan dengan kehidupan adik saya.
Shalat tajahud pun tidak pernah dilepasnya. Sayalah
yang senantiasa menggendongnya bila kami berdua akan
kemesjid. Meskipun untuk bernapas sudah susah sekali,
dia tetap mendisplinkan diri untuk ke mesjid. Sampai
akhirnya dia meninggal di pangkuan saya.
Dialah guru saya yang pertama. Guru pertama saya ini
adalah seorang yang cacat, yang lumpuh, yang matanya
juling, yang telinganya hampir tuli, yang tidak
bergerak. Lalu bagaimana mungkin saya meremehkan orang
lain, bila guru saya sendiri lebih muda daripada saya
dan seorang yang tidak berdaya? Ini merupakan
pelajaran yang teramat berharga dari Allah SWT.
Dari pengalaman berinteraksi dengan adik saya, yang
merupakan guru pertama saya, inilah saya kemudian
mencari guru-guru yang lain. Jadi kalau masyarakat mau
tahu bagaimana Allah membimbing saya, ya Dia berika
kepada saya guru yang jauh lebih muda dari saya, orang
yang lemah tak berdaya, orang yang cacat, lumpuh. Dan
sekarang, kalau saya didengar oleh begitu banyak
orang, saya berharap pahalanya diberikan kepada guru
pertama saya itu.
--------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku:
'Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauhiid' penerbit Mizan
hal 245-252
0 comments:
Post a Comment