Friday, 8 July 2011

Biografi Penceramah ::: Aa Gym

Saya lahir pada 29 Januari 1962, hari Senin. Ayah

saya, waktu saya lahir adalah seorang pemuda desa.

Beliau merantau ke Bandung untuk melanjutkan

pendidikan, lalu menjadi tentara sesudah menikah dan

memiliki anak. Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga biasa.

 
Saya sendiri lahir dan dibesarkan disebuah lingkungan

militer. Tepatnya saya lahir disebuah mes tentara.

Dari lingkungan seperti inilah saya dibentuk. Sejak


kecil saya sudah mengenal makna kedisplinan. Misalnya

saja saya harus tidak membunyikan sandal ketika

berjalan. Juga saat saya menutup pintu atau sedang

berada di ruang makan. Hal-hal itu layak dijalankan

dengan penuh kedisplinan.



HUBUNGAN ANTAR SAUDARA

  
Ayah dan ibu sayalah yang mendidik saya untuk mengenal

kedisplinan. Saya juga merasakan bahwa saya senantiasa

dilatih untuk memegang kesetiaan. Bila saya dan

adik-adik saya berkelahi, yang dihukum bukan satu

orang tetapi semuanya. Mengapa? Ini lantaran anak

laki-lakinya berjumlah tiga orang dan satu lagi

seorang wanita.



Keadaan seperti itu sangat membekas di hati saya

sehingga saya bersama saudara-saudara kandung saya

sulit sekali berpisah. Saya mengalami kesulitan untuk

jauh dari adik-adik saya. Maksud saya, jauh tidak

secara fisik namun secara batin. Misalnya secara

batiniah, saya tidak rela adik-adik saya tidak

memiliki rumah ataupun kendaraan. Saya dan adik-adik

ada keterikatan batin yang sangat tinggi.



Namun demikian, saya dan adik-adik saya sangat menjaga

harga diri masing-masing. Adik-adik saya tidak ada

yang berani meminta sesuatu kepada saya. Ini lantaran,

ya itu tadi, harga diri menjadi hal yang sangat

ditekankan dalam menjalani hidup.



Inilah etika keluarga yang senantiasa kami junjung

tinggi. Masing-masing dari kami sangat menghormati

hubungan kami yang dilandasi tidak saling

meminta.Keadaan seperti ini sungguh membekas didalam

diri saya. Dan apa yang saya alami di dalam keluarga

saya ini saya terapkan di lingkungan pesantren saya.

Misalnya saja, suatu ketika anak saya terlambat

mendaftar untuk mengikuti pesantren kilat di DT. Saya

pun tidak ingin memanfaatkan posisi saya agar anak

saya diprioritaskan. Meskipun anak saya menangis, saya

tetap tidak mau meminta anak saya diizinkan untuk

diterima.



PENDIDIKAN DAN BISNIS



Saya menempuh pendidikan sebagaimana anak-anak lain

menempuhnya. Yaitu melalui SD Negeri, SMP Negeri 12

hingga SMA Negeri  di Bandung. Saya juga sempat kuliah

di PAAP Unpad dan juga disebuah universitas yang

sekarang bernama Unjani (Universitas Jendral Ahmad

Yani). Di Unjani saya menempuh program sarjana muda.



Yang perlu saya ceritakan juga mengenai diri saya

adalah sejak kecil saya suka berjualan.Pokoknya setiap

ada acara disekolah misalnya, saya suka berjualan.

Yang ada dikepala saya waktu itu hanya satu kata:

Bisnis. Begitu juga saat di SMA 5. Meskipun kata orang

SMA 5 termasuk sekolah elite, saya tetap tidak

meninggalkan kesukaan saya berjualan. Waktu saya

bersekolah di tinggat SMA itulah saya malah membuka

taman bacaan dan mengkreditkan kaos ke teman-teman

saya.



Ketika kuliah, saya juga tetap berbisnis. Kuliah saya

di PAAP Unpad jebol gara-gara waktu itu saya

mendapatkan order menyablon perlengkapan untuk

keperluan pemilu. Di kampus Unjani juga begitu.

Pagi-pagi saya sudah berjualan roti. Roti yang saya

jual saya gendong dengan menggunakan ransel. Saya bawa

pakai sepeda. Waktu itu, saya menggunakan sepeda saat

kuliah di Unjani. Dan pada siang harinya, saya

memberikan les kepada anak-anak SMA. Waktu itu materi

yang saya berikan adalah matematika dan bahasa

Inggris. Dengan memberikan les ini, saya juga ikut

belajar meningkatkan kemampuan saya di bidang yang

saya ajarkan. Dan pada sore hari, saya membantu

mmbungkusi kacang untuk menambah pemasukan.



Seluruh hasil kerja saya itu akhirnya membuahkan

sesuatu. Saya kemudian dapat membeli mobil angkutan

umum. Saya kadang menjadi sopir angkutan kota. Oh ya,

bila ada acara wisuda, saya juga berjualan baterai dan

film. Ini hasilnya lumayan. Selain itu, saya juga

ngamen. Saya ngamen berkeliling dari satu rumah makan

ke rumah makan yang lain. Saat saya memutuskan untuk

ngamen ini sebenarnya tujuan saya tidak mencari uang.

Saya ingin berlatih dalam berhadapan dengan orang

lain. Tapi ya lumayan juga mendapatkan uang.



Disamping aktif berjualan, di kampus saya aktif pula

berorganisasi. Meskipun tubuh saya kecil, saya sering

menjadi ketua. Waktu ikut resimen mahasiswa (menwa) di

kampus, saya sempat menjadi komandan. Saya juga sempat

menjadi ketua senat mahasiswa. Lalu di bidang seni,

saya juga menekuninya. Saya suka menyanyi, menggambar

dan berpuisi. Sehingga di kampus kadang-kadang saya

menjadi ketua yang kurang disukai. Mengapa? Ya

lantaran, misalnya senat mengadakan lomba pidato,

sayalah yang memenangkannya. Di lain waktu ada lomba

mencipta lagu, saya lagi yang memenangkannya. Jadi di

kalangan teman-teman, saya sering dijuluki dengan

orang yang tidak mau setengah-setengah. Bila saya

menginginkan sesuatu, saya akan memperjuangkan secara

habis-habisan hingga meperoleh yang terbaik darinya.



Di segi prestasi akademik, alhamdulillah baik. Sejak

kecil saya senantiasa masuk peringkat yang lumayan.

Misalnya waktu SD, saya menjadi siswa berprestasi

terbaik kedua dengan selisih hanya satu nilai dari

sang juara. Dan ketika kuliah, nilai akademik saya

tetap terjaga dengan baik sehingga saya sempat

terpilih untuk mewakili kampus dalam pemilihan

mahasiswa teladan. Ringkasnya, banyak prestasi yang

saya buat di masa saya masih remaja dan beranjak

sebagai pemuda.



BELAJAR KEPADA ADIK



Di rumah saya itu pulalah saya kemudian menjumpai adik

saya yang nomer tida yang keadaan fisiknya lemah

sekali. Dimasa kecilnya, adik saya itu diambil sumsum

tulang belakangnya lantaran sakit. Kalau tak salah,

sakit step. Jadi, adik saya itu katanya mengalami

pengeringan sumsum. Perlahan sekali mata adik saya

menjadi juling. Separuh tubuhnya kaku. Jalannya pun

tidak normal, yaitu dengan menggeserkan tubuhnya.



Disinilah saya seperti menjumpai sebuah kehidupan yang

lain daripada yang lain. Dibalik segala kelemahannya

sebagai manusia saya melihat adik saya itu sebagai

orang hebat. Diantara kita sekeluarga, adik saya itu

paling shaleh. Pemahaman agamanya, menurut saya

terbaik diantara kami sekeluarga. Dan yang paling

mengherankan saya, dia itu bicaranya bagus. Pokoknya

berbobotlah.



Saya ini pernah menyabet juara pidato di kampus. Saya

juga dikenal sebagai pembicara yang mampu mempengaruhi

orang lain. Namun, bila dibandingkan dengan adik saya,

saya kalah jauh. Kata-kata yang diucapkan adik saya

ini lebih bersih ketimbang kata-kata saya. Saya

merasakan sekali adik saya ini memiliki daya gugah.

Saya heran sekali tentang ini.



Pokoknya, kalau dia ngomong saya merasa kalah. Saya

terus merenungkan tentang hal ini. Suatu ketika, dia

memberikan nasihat yang sangat mengesankan saya. Kalau

tak salah, dia berkata begini,"Aa itu tidak akan

pernah bahagia, kecuali Aa mengenal dan mencintai

Allah. Dan Aa tidak akan pernah mencapai kemuliaan

yang hakiki, kecuali Aa mengenal dan meniru

Rasulullah".



Sayalah yang kemudian mengantar adik saya yang malah

terus rajin kuliah di jurusan Ekonomi Unpad. Saya

senantiasa menggendongnya untuk menuju ruang

kuliahnya. Saya kemudian tidur satu kamar dengan adik

saya ini. Dia tak kenal menyerah,padahal keadaannya

terus melemah. Duduk pun sudah tidak bisa. Tangannya

pun lama-kelamaan sudah susah bergerak. namun, semua

itu tidak menghalanginya untuk tidak tersenyum. Dia

senantiasa menampakkan wajah yang ceria.



Jadi, dengan keadaan adik saya seperti itu saya bisa

belajar banyak. Saya waktu itu dipuji sana-sini. Saya

merasakan sekali bahwa adik saya tiu jauh lebih besar

daripada saya. Apa yang sudah saya capai tampak kecil

dibandingkan dengan kehidupan adik saya.



Shalat tajahud pun tidak pernah dilepasnya. Sayalah

yang senantiasa menggendongnya bila kami berdua akan

kemesjid. Meskipun untuk bernapas sudah susah sekali,

dia tetap mendisplinkan diri untuk ke mesjid. Sampai

akhirnya dia meninggal di pangkuan saya.



Dialah guru saya yang pertama. Guru pertama saya ini

adalah seorang yang cacat, yang lumpuh, yang matanya

juling, yang telinganya hampir tuli, yang tidak

bergerak. Lalu bagaimana mungkin saya meremehkan orang

lain, bila guru saya sendiri lebih muda daripada saya

dan seorang yang tidak berdaya? Ini merupakan

pelajaran yang teramat berharga dari Allah SWT.



Dari pengalaman berinteraksi dengan adik saya, yang

merupakan guru pertama saya, inilah saya kemudian

mencari guru-guru yang lain. Jadi kalau masyarakat mau

tahu bagaimana Allah membimbing saya, ya Dia berika

kepada saya guru yang jauh lebih muda dari saya, orang

yang lemah tak berdaya, orang yang cacat, lumpuh. Dan

sekarang, kalau saya didengar oleh begitu banyak

orang, saya berharap pahalanya diberikan kepada guru

pertama saya itu.



--------------------------------------------------------------------

Dikutip dari buku:

'Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauhiid' penerbit Mizan

hal 245-252

0 comments:

Post a Comment