Wajah Islam Pribumi;
Sejarah Pergumulan Islam dan Tradisi di Indonesia
Sejarah Pergumulan Islam dan Tradisi di Indonesia
Prolog
Indonesia, yang terletak persis di antara dua pertemuan; Hindia dan Pasifik serta Asia dan Australia, adalah sebuah bangsa yang majemuk dan beragam. Kemajemukan ini disebabkan oleh faktor geografis dan wilayah kepulauannya yang cukup luas.
Dari faktor geografis, bangsa Indonesia memiliki garis-garis pantai dan hutan-hutan tropis yang tersebar di kawasan seluas hampir 3000 mil. Sedang dari faktor wilayah, Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau yang bertebaran di sepanjang garis katulistiwa. Sehingga pada gilirannya, kedua faktor tersebut, secara tidak langsung telah membentuk kemajemukan bangsa ini dalam pelbagai hal, baik dalam tradisi-sosial, suku-ras, maupun agama-kepercayaan.
Pengaruh dua faktor ini sering pula dikemukakan oleh para peneliti asing (Indonesianis) dalam menyimpulkan sejarah perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Menurut mereka, keadaan geografis dan wilayah yang dimiliki oleh bangsa ini, telah membentuk keragaman dan perbedaan struktur masyarakatnya.
Secara sederhana, keragaman ini ditunjukkan setidaknya oleh tiga jenis kelompok masyarakat yang berkembang di seluruh wilayah Nusantara. Kelompok masyarakat pertama, adalah masyarakat yang hidup di daerah-daerah pedalaman dan kawasan-kawasan pegunungan yang terpencil. Masyarakat ini biasanya memiliki kepercayaan animisme dan komitmen kesukuannya sangat kuat.
Kelompok kedua, adalah masyarakat yang hidup di sepanjang garis pesisir, di mana jalur-jalur perdagangan laut telah memudahkan mereka untuk dapat mengenal dan bertukar kebudayaan dengan dunia luar. Sedangkan kelompok ketiga, adalah masyarakat yang dipengaruhi oleh struktur budaya keraton. Pada umumnya, kelompok masyarakat ini hidup dalam sebuah kota di sekitar kawasan istana yang mudah dijangkau. Sehingga memungkinkan mereka disebut sebagai kelompok elit yang memiliki kebudayaan tinggi.[1]
Dari tiga jenis masyarakat itu, Islam datang pertama kali ke bumi Nusantara melalui masyarakat kedua, yakni masyarakat yang hidup di sekitar daerah pesisir. Sebab, pola perdagangan yang terdapat di jalur-jalur pantai itu, telah berkembang menjadi pola hubungan timbal-balik dan pertukaran budaya antara masyarakat pesisir dengan para pedagang asing.
Oleh karenanya, adalah sebuah kenyataan sejarah yang tidak bisa dipungkiri, bahwa pola hubungan perdagangan di sekitar daerah-daerah pantai itu, telah mengenalkan Islam sebagai agama kultural yang disebarkan dengan jalan damai, tanpa ada tendensi kekuasaan ataupun politik tertentu.
Agaknya, pola penyebaran ini yang menyebabkan Islam dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Sebab dengan proses penyebaran yang kultural ini, Islam mampu berkembang dengan pesat dan bahkan, bagi masyarakat pesisir, Islam adalah bagian dari kehidupan mereka yang tak terpisahkan. Inilah sebabnya, mengapa masyarakat pesisir dikenal sebagai masyarakat yang berkomitmen kuat terhadap agama Islam.
Namun demikian, sepertinya perkembangan wajah Islam di negeri ini sama sekali berbeda dengan perkembangan Islam di wilayah-wilayah lain. Perbedaan ini menyangkut karakteristik dan cirikhas wajah Islam Indonesia yang tidak dijumpai pada wajah Islam manapun, termasuk di Timur Tengah.
Tentu saja, krakteristik yang dimiliki oleh Islam Indonesia ini memunculkan pelbagai pertanyaan menyangkut kemungkinan persenyawaan Islam dengan budaya setempat, sehingga menjadikan wajah Islam Indonesia berbeda dengan wajah Islam lainnya.
Sebelum membahas lebih jauh kemungkinan persenyawaan Islam dengan budaya bangsa ini, penting untuk menyebutkan terlebih dahulu asal-usul tradisi masyarakat Indonesia secara historis. Sebab, pembahasan ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui Islam sebagai agama universal, yang mampu menyerap budaya lokal, dan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia, tanpa melalui perebutan kekuasaan sebagaimana yang terjadi di semenanjung Arab, Andalus, India dan juga termasuk di Asia kecil.
Di lain sisi, pembahasan ini terkait dengan periode awal perkembangan bangsa Indonesia. Di mana orang-orang Indonesia selalu saja menunjukkan kemampuannya dalam mengembangkan sintesis dan persenyawaan terhadap pengaruh budaya luar. Tidak hanya dengan Islam, dengan budaya Hindu dan Budha sekalipun, masyarakat Indonesia mampu menerima pengaruh itu tanpa mengesampingkan budaya aslinya. Aspek penerimaan ini, jelas mencerminkan sifat bangsa Indonesia yang dikenal menghormati bangsa lain, dengan menunjukkan sikap luwes, menerima budaya asing tanpa melakukan konfrontasi. Maka, di sinilah letak kreativitas dan karakteristik wajah keberagamaan orang-orang Indonesia yang sama sekali berbeda dengan cara keberagamaan bangsa lain.
Tradisi Pribumi; Wajah Kultural Masyarakat Indonesia
Berdasarkan penemuan-penemuan arkelologis dari beberapa daerah di Nusantara, wilayah yang kini disebut Indonesia ini pernah dihuni oleh salah satu ras tertua manusia prasejarah yang berumur kira-kira 40.000 tahun yang lalu.[2] Akan tetapi, dalam ilmu geneologis, sangat diragukan bila orang-orang Indonesia modern adalah keturunan dari manusia purbakala tersebut.
Hal ini selain disebabkan oleh lemahnya teori Darwin tentang asal-usul kejadian manusia, juga disebutkan bahwa manusia Indonesia sejak 600 tahun sebelum Masehi, telah mampu mengembangkan kebudayaan mereka dalam bercocok tanam dan menanam padi. Lebih dari itu, bahkan para peneliti menyakini orang-orang Indonesia kuno, telah mampu membina kekuatan sosial yang sangat besar, di antaranya adalah kekuatan maritim dalam mengarungi lautan Indonesia.
Dalam masalah tradisi, masyarakat Indonesia kuno dipengaruhi oleh kepercayaan animisme terhadap benda-benda. Yakni kepercayaan bahwa benda-benda mati di sekelilingnya, seperti, batu besar, kayu, gunung-gunung, pepohonan memiliki roh. Dan bahkan, mereka juga menyembah roh leluhurnya yang dianggap telah banyak berjasa terhadap kehidupan dan kesejahteraan mereka. Roh leluhur ini biasanya disebut sebagai hyang, atau yang, yang berarti Tuhan.[3]
Selain itu, masyarakat Indonesia kuno juga mempercayai akan kemampuan roh-roh tersebut untuk dapat menolong mereka dari penyakit, penderitaan, kematian dan segala mara bahaya dunia. Mereka juga percaya akan kekuatan roh yang dapat mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan dan kesuburan lahan yang mereka garap.
Tidak hanya itu, masyarakat Indonesia kuno bahkan meyakini bahwa alam semesta memiliki tatanan dengan kekuatan spiritual yang dapat mengendalikan kehidupan manusia sehari-hari. Dalam buku Dynamics of Indonesian History, disebutkan bahwa orang-orang Indonesia kuno percaya akan kekuatan spiritual yang kadang-kadang dibagi ke dalam kekuatan-kekuatan lain. Dan setiap kekuatan, memiliki peran dan fungsi yang berlainan.[4]
Untuk menghormati roh-roh yang diyakini memiliki kekuatan spiritual itu, agar dapat mendatangkan kemakmuran dan menjauhkan mereka dari segala penderitaan, mereka menyiapkan ritual-ritual khusus yang dilembagakan dan dilaksanakan pada momen-momen penting. Misalnya, saat panen tiba, ketika bepergian, kelahiran bayi, pesta perkawinan, dan upacara kematian.
Sisa-sisa ritual kuno ini, sampai sekarang dapat kita saksikan dalam bentuk batu-batuan dan tempat peribadatan di beberapa daerah di wilayah Nusantara ini. Seperti yang terdapat di daerah-daerah tertentu di Jawa, penghormatan kepada danyang desa (roh pelindung desa) masih sering ditemukan dalam tradisi sebuah desa. Mereka biasanya meyakini, bahwa danyang desa yang telah berjasa membuka daerahnya itu, mengawasi gerak-gerik mereka setiap saat. Sebab itu ia harus dihormati dengan memberikanya sesajian lengkap bersama kemenyan yang diletakkan di sebuah pohon besar atau sendang yang diyakini sebagai tempat angker (tak dapat didekati).[5]
Dalam kurun berikutnya, sekitar abad pertama dan kedua Masehi, agama Hindu mulai diperkenalkan oleh para pedagang India melalui interaksi di jalur-jalur pantai Indonesia. Pada giliranya, kontak perdagangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak ini mengakibatkan penetrasi agama Hindu ke dalam kultur-kultur masyarakat Indonesia.[6]
Pengaruh besar agama Hindu ini didukung pula oleh keinginan para pedagang untuk menetap dan melakukan perkawinan campur dengan penduduk Indonesia. Dan dengan demikian, secara tidak langsung, mereka kemudian mengalirkan kebudayaan Hindu itu kepada masyarakat sekitarnya.
Pada masa selanjutnya, beberapa orang Brahmana India yang diyakini sebagai pemilik kasta tertinggi dalam agama Hindu, datang ke Indonesia dengan memberikan legitimasi politik kepada para penguasa kerajaan-kerajaan awal Indonesia. Para Brahmana itu kemudian menanamkan keyakinan, bahwa raja-raja merupakan wujud reinkarnasi dari dewa-dewa Hindu, seperti, Brahma, Shiwa dan Wishnu. Dengan ajaran ini, agama Hindu pun semakin meresap dan menjadi agama masyarakat Indonesia. Sebab, dalam tradisi masyarakat Indonesia kuno, agama raja adalah agama rakyat. Karenanya, pada abad keempat Masehi, walaupun masih relatif kecil, kerajaan-kerajaan Hindu mulai banyak bermunculan, seperti kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, dan kerajaan Kutai di Kalimantan.[7]
Berbeda dengan agama Hindu, agama Budha datang ke negeri ini dengan misi yang lebih populer. Para pendeta Budha dari India itu, sekitar abad keenam Masehi, melakukan kunjungan resmi ke istana raja-raja Indonesia dengan mengenalkan ajaran Sidarta Gautama berserta hukum-hukumya. Setelah mendapatkan kepercayaan raja, dan dapat mengukuhkan pengaruhnya kepada keluarga keraton, mereka pun selanjutnya menyebarkan ajaran Budha ke daerah-daerah lain.
Menurut para sejarawan, kedatangan para pendeta Budha ke Indonesia ini berbarengan dengan migrasi besar-besaran para pendeta dan pemeluk Budha ke wilayah-wilayah lain. Diperkirakan migrasi ini disebabkan oleh tekanan agama Hindu yang sangat kuat terhadap para pemeluk Budha di negeri asalnya, India.
Dalam kurun yang tidak berapa lama, pengaruh Hindu dan Budha telah berhasil memberikan corak terhadap kerajaan-kerajan besar di Indonesia. Dua agama ini, pada masa selanjutnya, selalu saja saling mempengaruhi kekuasaan para raja di kerajaan-kerajaan awal Indonesia.
Sekitar tahun 600-an Masehi, muncul kerajaan Hindu besar pertama, yakni kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatra Selatan. Pada tahun 670 Masehi, kerajaan ini telah berubah menjadi pusat pendidikan agama Budha Mahayana yang cukup disegani. Kekuasaannya mencakup sebagian besar pulau Sumatra, Jawa Barat, dan beberapa kepulauan Malaya dan Borneo. Kerajaan ini mampu bertahan hingga tahun 1377 Masehi.[8]
Pada masa Sriwijaya, Indonesia mulai dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Budha. Di sana banyak didirikan wihara yang dihuni oleh ribuan Bhikshu yang berasal dari pelbagai daerah. Di dalamnya, selain diajarkan tentang agama Budha, para siswa juga dapat mengikuti pelajaran tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa kuno (Kawi). Di antara pujangga Budha masa Sriwijaya yang diabadikan dalam sejarah bangsa ini adalah Dharmapala dan Sakyakirti.[9]
Kerajaan besar kedua, Sailendra, berdiri pada tahun 732 Masehi di Jawa Tengah. Kerajaan ini menjadi pusat pengembangan bahasa Sansekerta, dengan menekankan pendidikan agama pada Shaivisme, satu bagian dari jenis Brahmanisme. Pada masa Sailendra ini, dibangunlah Candi Borobudur, yang hingga kini menjadi perlambang tentang tingginya nilai seni dan arsitek masyarakat Indonesia, terutama Jawa. Pada tahun 930 Masehi, setelah Kerajaan Sailendra mengalami kemunduran besar, muncul Kerajaan Mataram di Jawa Timur. Kerajaan ini pernah berjaya di bawah kekuasaan Raja Dharmawangsa (990-1007 Masehi), yang berhasil menerjemahkan kitab Mahabarata dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa dan huruf Jawa.
Pada abad selanjutnya, tepatnya tahun 1293 Masehi, muncul kerajaan Hindu yang paling memukau di Indonesia, yakni Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya. Dilihat dari ritual agamanya, Majapahit cenderung mengaktifkan kembali tradisi-tradisi asli Jawa. Oleh karena itu, Majapahit sering pula disebut sebagai kerajaan Hindu-Jawa.
Sekitar tahun 1350 Masehi, kekuasaan Majapahit berhasil melampaui kekuasaan Sriwijaya, dan bahkan menguasai seluruh kepulauan Indonesia, Malaka dan Borneo. Masa keemasan ini berlangsung pada tahun 1350-1389 Masehi, di bawah pemerintahan raja keempat Majapahit, Prabu Hayam Wuruk. Dalam sejarah, kebesaran ini merupakan wujud dari cita-cita luhur Perdana Menteri Gadjah Mada untuk menyatukan wilayah Nusantara.[10]
Akan tetapi, setelah Gadjah Mada meninggal pada tahun 1364 Masehi, kerajaan-kerajaan kecil yang semula bersatu di bawah naungan Majapahit, sedikit demi sedikit mulai melepaskan diri. Hingga pada tahun 1520 Masehi, kekuasaan Majapahit telah betul-betul runtuh oleh serangan kerajaan Demak yang berdiri tahun 1513 Masehi. Kedatangan Islam ini juga berakibat pada hilangnya kantong-kantong kebudayaan Hindu di daerah-daerah lain, dan bahkan tidak menyisakan ruang sedikitpun terhadap pertumbuhan budaya Hindu, kecuali hanya di Pulau Bali, satu-satunya tempat yang masih melestarikan kebudayaan Hindu Indonesia sampai sekarang.
Menyusul kedatangan dua agama itu, tradisi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia juga mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Namun demikian, penting untuk disebutkan, bahwa pengaruh kebudayaan India (Hindu dan Budha) di wilayah Indonesia yang berlangsung selama berabad-abad itu, ternyata sama sekali tidak menghilangkan tradisi asli masyarakatnya.
Bahkan banyak dari ajaran-ajaran Hindu-Budha tersebut, dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan tradisi serta corak alam masyarakat Indonesia. Seperti pembagian Kasta dan konsep tentang kemurnian dari dosa, adalah salah satu jenis ajaran yang tidak musti diterapkan di Indonesia. Sebaliknya, hanya beberapa saja dari ajaran Hindu-Budha yang diadopsi persis sebagaimana tradisi aslinya, seperti tradisi asketis (pertapaan) bagi orang-orang yang ingin belajar ilmu kanuragan di padepokan-padepokan yang terpencil di tengah hutan.
Memang, bila dilihat dengan kasat mata, pengaruh budaya Hindu-Budha di Indonesia dapat kita saksikan hingga saat ini. Peninggalan-peninggalan kuno yang berupa candi, seni arsitektur bangunan kerajan, tari-tarian, sastra, hingga kata-kata serapan dari bahasa Sansekerta adalah bukti dari kuatnya pengaruh Hindu-Budha yang bercorak khas India.
Akan tetapi, menurut Muhammad Naguib al-Attas, yang dikutip oleh Dr. Alwi Shihab, Ph. D., dalam bukunya, Membendung Arus, bahwa dalam masa dominasinya itu, agama Hindu dan Budha hanya tampil sebagai bentuk peribadatan khusus yang dimiliki oleh para pendeta dan mereka yang berada di lingkungan Istana.[11]
Karenanya, pengaruh dua agama ini hanya berhasil dalam tingkat suprastruktur yang dapat dijangkau oleh para penguasa saja. Sedang infrastruktur yang dikembangkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sama sekali tidak tersentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha ini. Sehingga, dalam kehidupan masyarakat Indonesia, budaya Hindu-Budha tidak sepenuhnya dirasakan sebagai agama yang memiliki nilai-nilai teologis dan filosofis.
Kenyataanya, masyarakat Indonesia lebih banyak tertarik pada nilai-nilai estetika yang dikembangkan oleh budaya Hindu-Budha, ketimbang nilai-nilai teologis dua agama itu. Buktinya, mereka banyak melakukan proses sinkretisasi. Tidak hanya antara budaya Hindu-Budha dengan budaya lokal, tetapi juga antara Hindu, Budha dan lokal sekaligus. Proses sinkretisme ini bisa dilihat, misalnya, dalam tulisan sakral Jawa; "Smaradahana Hyang Kamahayanika," yang tersusun dari ajaran Trimurti agama Hindu dan ajaran-ajaran Budha Mahayana, dengan penyusunan khas Jawa.
Agaknya, proses penyebaran yang hanya terbatas pada lingkungan keraton dan tradisi sinkretisme yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia ini, menyebabkan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia yang telah berlangsung selama berabad-abad itu, dengan mudah dapat digeser oleh kebudayaan Islam.
Meskipun kedatangan Islam ke Indonesia tidak jauh berbeda dengan kedatangan agama Hindu, tetapi jalur kultur yang ditempuh Islam relatif cukup lama, dibanding dengan jalur kekuasaannya. Diperkirakan, menurut catatan dari China, Islam datang ke Indonesia sejak abad ketujuh Masehi, kemudian tujuh abad berikutnya baru mampu mengembangkan diri menjadi kerajaan pada tahun 1275 di Pasai Aceh.
Selain sebab misi kultural yang dikemukakan di atas, tradisi masyarakat Indonesia juga mendukung untuk dapat berkembangnya persenyawaan kebudayaan-kebudayaan lain. Sikap umumnya orang-orang Indonesia yang luwes dan mudah menerima budaya asing ini, menyebabkan Indonesia kaya dengan tradisinya yang berbau sinkretisme.
Menelusuri Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
Ada beberapa pertanyaan awal yang sering diajukan untuk menelusuri sejarah masuknya Islam di Indonesia. Pertanyaan ini menyangkut tentang kapan, siapa dan dari mana datangnya Islam ke Indonesia? Bisa jadi pertanyaan ini muncul akibat dari sedikitnya karya-karya yang berbicara mengenai Islam di Indonesia, sehingga sulit untuk memastikan bagaimana sebetulnya perkembangan Islam Indonesia. Namun demikian, secara umum, beberapa karya awal sepakat menyatakan, bahwa Islam datang ke wilayah Nusantara melalui jalur-jalur pelayaran di sepanjang kepulauan Indonesia secara damai dan kultural, bukan dengan kekuatan politik sebagaimana yang terjadi di kawasan lain.
Sampai saat ini, pembahasan tentang kapan, siapa dan dari mana Islam datang ke Indonesia itu masih saja terus diperdebatkan. Setidaknya ada tiga versi yang sering menjadi rujukan utama penulisan tentang perkembangan Islam di Indonesia.
Versi pertama menyebutkan, bahwa Islam dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dari Persia sekitar abad ke-13 Masehi. Wilayah Samudra Pasai, diyakini sebagai tempat pijakan pertama. Menurut versi ini, adanya kesamaan tradisi beberapa kelompok masyarakat Islam dengan tradisi masyarakat Persia, adalah bukti kuat pengaruh Persia dalam Islam Indonesia. Sebut saja, misalnya, peringatan Suro, yang dilakukan pada setiap tanggal 10 Muharram, dan tadisi Tabut, yang dilakukan oleh sebagian penduduk Sumatra Barat, merupakan tradisi yang persis dilakukan masyarakat Iran untuk memperingati meninggalnya Sayyidina Husain. Lebih dari itu, ada beberapa bahasa Persia yang diserap ke dalam bahasa penduduk Pasai, seperti, Jabar dari Zabar dan Jer dari Ze-er.[12]
Sedang menurut versi kedua, Islam datang ke Indonesia pada abad ke-12 atau permulaan abad ke-13 Masehi. Pada masa ini, Islam dibawa oleh para pedagang anak benua India yang berasal dari Gujarat, Malabar dan Bengali. Versi ini dijelaskan oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden, yang kemudian dianut oleh Snouck Hurgronje.
Dalam pandangan Hurgronje, versi ini didasarkan pada pola hubungan kebudayaan yang sudah terjalin berabad-abad antara penduduk Indonesia dengan para pedagang dari India. Pengamatan Hurgronje ini juga bertumpu pada perilaku masyarakat Islam Indonesia yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai Arab.
Berbeda dengan dua versi di atas, versi ketiga menyebutkan bahwa Islam datang ke Indonesia pada awal abad ketujuh.[13] Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para pedagang dari Persia atau India, melainkan langung dari Arab.
Sumber versi ini banyak ditemukan dalam literatur-literatur China yang terkenal, seperti buku tentang sejarah China yang berjudul Chiu T'hang Shu. Menurut buku ini, orang-orang Ta Shih, sebutan bagi orang-orang Arab, pernah mengadakan kunjungan diplomatik ke China pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama menerima delegasi dari Tan Mi Mo Ni', sebutan untuk Amirul Mu'minin. Selanjutnya, buku ini menyebutkan, bahwa delegasi Tan Mi Mo Ni' itu merupakan utusan yang dikirim oleh Khalifah yang ketiga. Ini berarti bahwa Amirul Mu'minin yang dimaksud adalah Khalifah Utsman Bin Affan.[14]
Pada masa berikutnya, delegasi-delegasi muslim yang dikirim ke China semakin bertambah. Pada masa Dinasti Umayyah saja, terdapat sebanyak 17 delegasi yang datang ke China. Kemudian pada masa Dinasti Abbasiah, ada sekitar 18 delegasi yang pernah dikirim ke China. Bahkan pada pertengahan abad ketujuh Masehi, sudah terdapat perkampungan-perkampungan muslim di daerah Kanton dan Kanfu.
Sumber tentang versi ini juga dapat diperoleh dari catatan-catatan para peziarah Budha China yang sedang berkunjung ke India. Mereka biasanya menumpang kapal orang-orang Arab yang kerap melakukan kunjungan ke China sejak abad ketujuh. Tentu saja, untuk sampai ke daerah tujuan, kapal-kapal ini harus melewati jalur pelayaran Nusantara.
Beberapa catatan lain menyebutkan, delegasi-delegasi yang dikirim ke China itu sempat mengunjungi Zabaj atau Sribuza, sebutan lain dari Sriwijaya. Mereka umumnya ingin mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya yang sangat dikenal pada masa itu.
Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibn Abd. al-Rabbih, yang dikutip Prof. Dr. Azyumardi Azra, dalam bukunya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Ia menyebutkan, bahwa sejak tahun 100 Hijriah atau 718 Masehi, sudah terjalin hubungan diplomatik yang cukup baik antara raja Sriwijaya, Sri Indravarman dengan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz.
Selain di Zabaz atau Sriwijaya, daerah lain yang sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para delegasi muslim adalah Aceh, Minangkabau dan bahkan sampai ke pusat remah-rempah, Maluku. Di sana mereka melakukan dakwah dan mengajarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat sekitarnya. Sebab, banyak dari delegasi-delegasi tersebut adalah seorang da'i yang khusus dikirim Khalifah untuk mengenalkan Islam kepada masyarakat Timur Jauh, termasuk Indonesia.
Lebih jauh, dalam literatur China itu disebutkan, bahwa perjalanan para delegasi itu tidak hanya terbatas di Sumatra saja, tetapi sampai pula ke daerah-daerah di Pulau Jawa. Pada tahun 674-675 Masehi, orang-orang Ta Shi (Arab) yang dikirim ke China itu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Menurut sumber ini, mereka berkunjung untuk mengadakan pengamatan terhadap Ratu Shima, penguasa Kerajaan Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.
Pada periode berikutnya, proses islamisasi di Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo. Mereka adalah para muballig yang paling berjasa dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan, para Wali Songo itu masing-masing memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah pertama adalah, Surabaya, Gresik dan Lamongan di Jawa Timur. Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus dan Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di Jawa Barat.
Dalam berdakwah, para Wali Songo itu menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia kuno. Yakni dengan melekatkan nilai-nilai Islam pada praktek dan kebiasaan tradisi setempat.[15] Sehingga tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa.
Tradisi dan praktek yang sering menjadi lahan dakwah ini antara lain; pengobatan, bercocok tanam, perdagangan, kesenian dan kebudayaan, hingga sosial kemasyarakatan, dan bahkan pemerintahan. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, misalnya, memiliki keahlian dalam tradisi pengobatan, sehingga beliau diangkat menjadi "tabib istana" Kerajaan Hindu Majapahit. Raden paku atau Sunan Giri, yang disebut oleh Belanda sebagai "Paus dari Timur," merupakan pencipta lagu rakyat Pucung dan Asmarandana. Begitu pula dengan Sunan Kalijaga, beliau adalah pencipta lagu yang paling populer dalam sejarah rakyat Jawa, Lir-ilir. Sunan Kudus juga memiliki keahlian serupa dalam menciptakan lagu-lagu Maskumambang dan Mijil. Dan Sunan Muria adalah tokoh yang menggunakan gamelan untuk menarik masyarakat agar masuk Islam. Lagu-lagu Jawa Sinom dan Kinanti adalah hasil gubahan beliau.[16]
Selain berdakwah dengan tradisi, para Wali Songo itu juga mendirikan pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai tempat untuk menelaah ajaran-ajaran Islam, sekaligus sebagai tempat pengkaderan para santri. Pesantren Ampel Denta dan Giri Kedaton, adalah dua lembaga pendidikan paling penting di masa itu. Bahkan dalam pesantren Giri di Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri telah berhasil mendidik ribuan santri yang kemudian dikirim ke beberapa daerah di Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia Timur lainnya.
Dengan kehadiran Wali Songo ini, bukan hanya dominasi budaya Hindu-Jawa yang mengalami kehancuran, malainkan juga membuka kurun baru bagi berlangsungnya kebudayan Islam di Indonesia. Pada zaman ini, masyarakat Jawa menyebutnya sebagai jaman kuwalen (zaman para Wali).
Islam Pribumi; Wajah Pergumulan Islam dan Tradisi di Indonesia
Telah disebutkan di muka, bahwa proses keberhasilan Islam di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang memiliki pengaruh tradisi Hindu-Budha sangat kuat, adalah merupakan hasil dari kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Islam terhadap tradisi setempat yang sebagian asli dan sebagian lagi Hindu-Budha. Karena itu, dalam keberagamaan umat Islam Indonesia, ajaran-ajaran Islam sedikit banyak telah kehilangan nilai kearabannya. Dan dengan demikian, menjadikan wajah Islam Indonesia berbeda dengan wajah Islam manapun.
Selain faktor kelonggaran itu, beberapa faktor lain juga turut mendukung tersebarnya Islam secara luas di kalangan masyarakat Indonesia. Faktor-faktor itu antara lain: hubungan politik (diplomatik), perdagangan, perkawinan, sikap perlawanan terhadap penjajah Portugis dan tasawuf. Dari semua faktor tersebut, menurut para sejarawan, tasawuf merupakan faktor paling dominan dalam keberhasilan penyebaran Islam Indonesia. Hal ini disebabkan oleh penafsiran para kaum sufi terhadap ajaran-ajaran Islam, sangat sesuai dengan latar belakang mistik masyarakat Indonesia.[17]
Oleh sebab itu, meskipun Islam adalah agama mayoritas penduduk bangsa ini, akan tetapi tampak praktek-praktek yang dilakukan oleh mereka sangatlah bervariasi. Antara komunitas satu dengan komunitas lainnya atau antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, terdapat keragaman cirikhas yang berbeda.
Namun demikian, secara general keragaman variasi tersebut dapat diidentifikasikan menjadi dua komunitas besar. Daerah-daerah di mana kebudayaan Hindu-Budha sangat berpengaruh, telah berperan penting dalam pembentukan komunitas yang pertama, yakni komunitas yang disebut sebagai abangan. Pada masyarakat ini, Islam cenderung melakukan kompromi dengan budaya lokal dan budaya-budaya lain yang datang sebelum Islam. Komunitas ini, misalnya, banyak ditemukan di daerah-daerah Jawa Tengah bagian selatan.
Komunitas yang kedua, adalah komunitas yang biasa disebut sebagai santri, yakni mereka yang memiliki komitmen kuat terhadap Islam, dan dengan sepenuh hati mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sosial mereka, tentu saja pengamalan ini terbatas pada tradisinya masing-masing. Komunitas ini banyak terdapat di daerah-daerah yang kurang mendapat pengaruh budaya Hindu-Budha, seperti daerah-daerah di sepanjang jalur pantai utara Pulau Jawa.[18]
Pada hakekatnya, melihat corak keberagamaan masyarakat Islam Indonesia yang lebih mempertahankan praktek budaya aslinya, penulis cenderung menilai bahwa pengaruh ini akibat dari nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Islam. Maksudnya, Islam pada tahap ini lebih sebagai pihak yang menampung dan mengakomodasi budaya lain, bukan pihak yang mengubah atau mengkonversikan budaya itu.
Ini misalnya dapat dilihat dari realitas empiris sejarah perkembangan Islam di Jazirah Arab. Sebab, perlu disebutkan, bahwa semenjak Islam muncul dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Arab, transformasi atau perubahan sosial itu telah terjadi secara cepat dan besar-besaran, baik dilihat dari sudut pandang kehidupan keagamaan maupun kehidupan sosial, budaya dan politik masyarakat Arab. Inilah bentuk transformasi sosial dari adanya akomodasi Islam era pertama.
Meskipun banyak kalangan yang meragukan kemungkinan akomodasi Islam dengan modal sosial tradisi Arab tersebut. Akan tetapi kenyataan membuktikan lain, justru nilai universalitas Islam semakin teruji tatkala ia mampu melakukan akulturasi dengan sosial-budaya masyarakat setempat.
Isyarat akulturasi ini dapat dilacak pada ayat-ayat madaniyah yang memiliki kandungan berbeda dengan ayat-ayat makkiyah. Pasalnya, ayat-ayat makkiyah (yang turun di Makkah), secara umum lebih banyak menjelaskan tentang dimensi ilahiah sebagai nilai fundamental Islam yang sifatnya ilahiyah, doktrinal dan kekal. Sedang ayat-ayat madaniyah (yang turun di Madinah), bisa dibilang merupakan ayat paralelisme nilai-nilai fundamental Islam dengan modal sosial yang dimiliki masyarakat Yatsrib, yang –tentu saja– secara umum bersifat lokal dan temporal. Sehingga tampak ayat-ayat Madinah itu diciptakan oleh ruang, oleh waktu dan oleh interaksi antara Nabi saw. dengan masyarakat Yatsrib masa itu. Akibatnya, munculah sintesa umum; yang menyatakan bahwa ayat-ayat Madinah adalah ayat yang paling banyak dan paling terbuka untuk dieksplorasi serta diinterpretasi secara luas.
Dalam pandangan para ahli fiqh (fuqahâ'), misalnya, hanya Imam Malik yang tidak mengambil sintesa tersebut. Menurut beliau, Islam dan Yatsrib-Arab tidak bisa dipisahkan, karena bisa jadi transformasi sosial masyarakat Madinah yang telah dibentuk Nabi itu, sudah take for granted dari Islam. Agaknya pemahaman Imam Malik ini membawanya pada sebuah kesimpulan; transformasi sosial (amalan) ahli Madinah adalah salah satu dasar atau pijakan pengambilan hukum (istinbâth). Padahal tidak demikian menurut para imam madzhab lainnya.
Kesepakatan para ulama untuk menerima sintesa ini menunjukkan, bahwa Islam yang berkembang pada masa Rasulullah saw. adalah juga hasil dari proses dialektika antara wahyu dan tradisi lokal masyarakat Arab. Karena itu, mereka merumuskan dalam ilmu-ilmu Alquran, misalnya, konsep-konsep yang berhubungan dengan tradisi. Konsep itu antara lain; asbabun nuzul (sebab diturunkannya wahyu), yakni konsep yang menunjukkan tentang keterkaitan turunnya wahyu dengan suatu tradisi atau konteks tertentu. [19] Selain itu, ada pula konsep Naskh, yang menyatakan tentang pembatalan sebuah wahyu atas wahyu yang lain disebabkan oleh perubahan konteks sosial tertentu.[20] Maka, dalam masalah ini, ajaran Islam mestinya dapat dipahami sebagai jawaban atas kebutuhan dan problem yang dihadapi masyarakat.
Mengenai proses kompromi yang terjadi antara Islam dengan tradisi-tradisi itu, ajaran-ajaran yang ditekankan dalam Islam cukup hanya berperan dalam kerangka untuk memberikan pondasi dasar terhadap tradisi-tradisi tersebut. Bahkan terhadap tradisi yang adiluhur dan sesuai dengan faktor lingkungan masyarakatnya, Islam tidak merasa perlu untuk melakukan islamisasi. Islam justru akan memberikan wewenang lebih besar bagi tradisi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam itu untuk berperan dalam menentukan sebuah hukum. Inilah yang dimaksud dalam rumusan kaidah fiqh, al-âdah al-muhakkamah, sebagai salah satu sumber hukum Islam.[21]
Sedangkan terhadap tradisi sosial yang aniaya, zalim dan menyalahi nilai-nilai kehidupan, Islam dengan tegas menolaknya, dan kemudian memberikan batasan-batasan konstruktif –melalui pendekatan budaya– yang sesuai dengan etika dan norma kemanusiaan.[22] Sehingga Islam tidak sampai terkesan 'menghakimi' tradisi sosial itu sebagai obyek, namun sebaliknya, sebagai subyek untuk menciptakan sendiri bentuk yang sesuai dengan kehidupan sosial masyarakatnya. Maka, di sinilah letak kelenturan Islam ketika bersinggungan dengan suatu tradisi.
Pada gilirannya, kemampuan Islam untuk menyerap segala bentuk tradisi yang datang dari pelbagai wilayah yang dimasukinya, telah menjadikan kebudayaannya semakin kaya dan beragam. Dan bahkan dalam kadar tertentu, penyerapan ini menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Dan dengan demikian, akan semakin meneguhkan Islam sebagai agama yang universal, kontekstual dan sesuai dengan kondisi zaman dan tempat.[23]
Dalam konteks keindonesiaan, berbeda dengan Hindu dan Budha yang datang ke Indonesia dengan memindahkan simbol-simbol India yang berupa budaya "stupa," Islam datang tidak dengan membawa simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah, bahkan dalam proses penyebarannya, Islam cenderung melakukan akomodasi dan penyerapan terhadap kultur penduduk setempat.[24] Contoh paling populer untuk menunjukkan kecenderungan ini adalah adanya tradisi keberagamaan yang dilakukan oleh ormas Nahdlatul Ulama dengan Tahlil dan Manaqibnya, semaraknya tradisi pendidikan agama yang berupa pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, serta wujud seni arsitektur dalam membangun Mushala dan Masjid yang berbeda dengan arsitektur Masjid di Timur Tengah.
Epilog
Meski Islam datang pertama kali di kawasan Jazirah Arab, di mana pada tingkat tertentu pengaruh kehidupan tradisi Arab tidak bisa dihindari. Akan tetapi, memaksakan Islam yang sepenuhnya sesuai dengan budaya lokal masyarakat Arab itu jelas bukan menunjukkan nilai universal Islam yang sebenarnya. Malah terkadang pemaksaan terhadap budaya Arab justru akan menyebabkan tercerabutnya masyarakat dari akar budayanya sendiri.
Oleh sebab itu, penting untuk disebutkan, bahwa Islam yang kini menjadi agama masyoritas masyarakat Indonesia, merupakan hasil dari proses panjang pengalaman inkulturasi budaya –yang tentu saja– mengilustrasikan adanya sebuah dialektika intensif antara ajaran-ajaran inti Islam dengan tradisi dan tata nilai masyarakat Indonesia. Sehingga Islam tampak sebagaimana tradisi asli yang sulit untuk dihilangkan begitu saja.
Maka, wajah Islam yang mengalami inkulturasi dengan sebuah tradisi tertentu akan mengandaikan dua hal yang menunjukkan tentang intensitas Islam sebagai agama universal. Pertama, interpretasi terhadap ajaran Islam akan dipahami sesuai dengan konteks zaman dan tempat di mana ia berkembang. Kedua, ajaran Islam akan tampak lebih dinamis dan progresif dalam merespons tantangan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Dan dengan demikian, Islam dapat menjadi inspirator dalam setiap perubahan sosial sebuah masyarakat. Wa Allâhu A'lam Bi al-Shawâb.
Daftar Pustaka:
1. Al-Bahy, Dr. Muhammad, al-Qurân... Wa al-Mujtama’ (Kairo: Maktabah Wahbah, cet II, 1986).
2. Al-Suyuthi, al-Asybâh wa al-Nadhâir,
3. Al-Suyuthi, Manâhil al-Qurân fi Ulûm al-Qurân,
4. Indonesia Sekilas Catatan Tahun demi Tahun; Zaman Indonesia Kuno, lihat di http://www.jawapalace.org.
5. Islam Pribumi; Menolak Arabisme, Mencari Islam Indonesia, Jurnal Tashwirul Afkar (Jakarta: Lakpesdam, Edisi No. 14, Tahun 2003).
6. Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta: INIS, 1988).
7. Sejarah Islam di Indonesia, lihat di http://www.islamnusantara.com.
8. Sejarah Islam Indonesia, lihat di http://www.pesantren.net.
9. Shihab, Ph.D., Dr. Alwi, Membendung Arus (Bandung: Mizan, cet. I, November, 1998).
10. Sirah Islam Indonesia; Edisi Khusus Mengupas Sejarah Islam Nusantara, lihat di http://www.swaramuslim.net.
11. Tulisan Chandadhammo Benny Chandra, yang disarikan dari buku: Sumedha Widyadharma, Agama Buddha dan Perkembangannya di Indonesia (Tangerang: P.C Mapanbudhi, cet. V, 1995), lihat di http://www.buddhistonline.com.
12. W. Herner, Robert, Civil Islam; Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Terj. Ahmad Baso (ISAI, cet I, Mei, 2001).
[1] Dr. Alwi Shihab, Ph.D. Membendung Arus (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 15.
[2] Ibid, hlm. 195.
[3] Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta: INIS, 1988), hlm. 28.
[4] Dr. Alwi Shihab, Ph.D., op. cit., hlm. 17.
[5] Sampai saat ini kebanyakan orang Jawa masih menganggap bahwa setiap desa dihuni oleh roh-roh pelindung yang berada dalam sebatang pohon rindang dan besar. Menurut mereka, roh-roh ini sudah berada di desa tersebut sebelum tanah itu dibersihkan untuk dijadikan sebuah pemukiman desa bersangkutan.
[6] Indonesia Sekilas Catatan Tahun demi Tahun; Zaman Indonesia Kuno, dalam Catatan Sejarah Indonesia, lihat di http://www.jawapalace.org.
[7] Dr. Alwi Shihab, Ph.D., op. cit., hlm. 20.
[8] Tulisan Chandadhammo Benny Chandra, yang disarikan dari buku: Sumedha Widyadharma, Agama Buddha dan Perkembangannya di Indonesia (Tangerang: P.C Mapanbudhi, cet. V, 1995), lihat di http://www.buddhistonline.com.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Dr. Alwi Shihab, Ph.D., op. cit., hlm. 24.
[12] Sirah Islam Indonesia; Edisi Khusus Mengupas Sejarah Islam Nusantara, lihat di http://www.swaramuslim.net.
[13] Sejarah Islam di Indonesia, lihat di http://www.islamnusantara.com.
[14] Sirah Islam Indonesia; Edisi Khusus Mengupas Sejarah Islam Nusantara, op. cit., lihat di http://www.swaramuslim.net.
[15] Untuk menggambarkan tradisi yang dimaksud di sini, penulis merujuk pada istilah 'Modal sosial' yang dikemukakan oleh Robert W. Herner. Yakni yang terdiri atas sumbangan-sumbangan budaya akumulatif yang memudahkan dukungan terhadap tugas-tugas sosial tertentu. Pendekatan ini mengacu pada sumber-sumber non materi yang ada di dalam masyarakat, seperti status, kepercayaan atau niat baik, norma-norma dan jaringan-jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi sosial dengan memudahkan tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Lihat: Robert W. Herner. Civil Islam; Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Terj. Ahmad Baso (ISAI, cet I, Mei 2001), hlm. 49.
[16] Zaini Muchtarom, op. cit., hlm. 21.
[17] Dr. Alwi Shihab, Ph.D., op. cit., hlm. 27.
[18] Zaini Muchtarom, op. cit., hlm. 26.
[19] Muhammad Abdul Adhim, Manâhil al-Furqân fi Ulûm al-Qurân (Kairo: Dâr Ihyâ' al-Kutub al-Arabiyyah), hlm. 106.
[20] Ibid, hlm. 176.
[21] Lihat buku-buku yang menjelaskan tentang kaidah-kaidah Fiqh, seperti Al-Asybâh wa al-Nadhâir,karya Al-Suyuthi.
[22] Tulisan: M. Imdadun Rahmat, dkk, Islam Pribumi; Mencari Wajah Islam Indonesia, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 14 Tahun 2003 (Jakarta Lakpesdam 2003), hlm. 19.
[23] Dr. Muhammad al-Bahy, Al-Qurân... Wa al-Mujtama’ (Kairo: Maktabah Wahbah, cet II, 1986), hlm. 70.
[24] Tulisan: Zainul Milal Bizawe, Dialektika Tradisi Kultural; Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 14 Tahun 2003 (Jakarta Lakpesdam 2003), hlm. 51.
0 comments:
Post a Comment