Thursday, 15 November 2007

Ceramah Peringatan Isra dan Mi'raj (1)

ISRA DAN MI’RAJ
(untuk ceramah di masyarakat)
Oleh: Marhadi Muhayar, Lc., M.A.

A. Mukaddimah (prolog)

بسم الله الرحمن الرحيم. السلام عليكم ورحمة الله وبركاته. الحمد لله الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (الإسراء: 1). الحمد لله الملك الوهاب الجبار التواب الذى جعل الصلاة مفتاحا لكل باب. والصلاة والسلام على من نظر الى جماله بلا ستر ولا حجاب وعلى جميع الآل والأصحاب وكل وارث لهم الى يوم المآب. أشهد أن لا اله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله لا نبى بعده. أما بعد.

Hadirin yang dimuliakan oleh Allah Swt…
Bapak-bapak, Ibu-ibu yang saya hormati.
Remaja-remaji yang saya cintai.
Ade-ade sekalian yang saya kasihi.
Dan rekan-rekan yang saya banggakan.


Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun berlalu. Tidak terasa peringatan demi peringatan Isra miraj, sering kita laksanakan setiap tahun. Walaupun peristiwa yang sangat bersejarah ini telah berulang kali kita peringati, namun hal ini tidak pernah membosankan kita sebagai seorang mukmin. Karena dengan adanya peringatan Isra mi’raj ini, sangat banyak manfaat yang akan kita dapatkan, baik itu berupa pelajaran, hikmah bagi kita, maupun sebagai siraman rohani dan pemantapan iman di dalam dada-dada kita.

Mengapa saya katakan sebagai siraman rohani dan pemantapan iman? Karena Isra dan Mi’raj merupakan peristiwa maha ghaib yang menuntut umat manusia, bukan hanya umat Islam, untuk mengimaninya.

Sebagaimana kita tau, Isra dan mi’raj merupakan fenomena ilahiyah (atau sebuah kenyataan yang sengaja tuhan ciptakan) yang telah muncul sejak masa awal kelahiran Islam itu sendiri, di tengah masyarakat yang memiliki gaya berpikir sangat primitif dan sederhana, belum mampu menemukan discovery atau penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern sepeti zaman sekarang ini. Sehingga sangat sulit bagi seseorang di zaman itu untuk percaya terhadap peristiwa Isra dan mi’raj ini. Oleh karenanya, bukan sesuatu yang aneh, jika tidak sedikit orang-orang yang telah memeluk Islam, akhirnya kembali menjadi kafir, karena peristiwa yang mereka anggap tidak masuk akal ini.

Isra dan mi’raj adalah mu’jizat ilahiyah yang memang tidak mesti terjangkau oleh akal manusia. Akal manusia sangatlah terbatas untuk bisa menelusuri eksistensi Isra dan miraj itu sendiri, karena Isra dan miraj adalah termasuk urusan ghaib yang tidak bisa dicapai oleh sesuatu yang bersifat inderawi (Al hawas). Dalam hal inderawi ini akal hanya diperintahkan untuk meyakini dan tunduk kepada apa saja yang difirmankan oleh Allah swt, dan disabdakan oleh nabi Muhammad saw.

Di sinilah kita bisa membuktikan kelemahan akal manusia. Dari mana kita coba buktikan? Contoh..., kalau kita berandai untuk membawa akal kita kembali ke zaman dahulu, ke zaman dimana belum ditemukan saintis, tekhnologi, dan ilmu‑ilmu pengetahuan modern seperti zaman sekarang ini. Di zaman kolot yang kalo kata anak sekarang, “zaman kuda masih gigit besi”.

Kalau pada waktu itu ada orang yang bercerita tentang radio, televisi, komputer, internet. Adanya listrik yang sekali sentuh bisa terang, sekali sentuh bisa gelap dengan seketika. Pastilah ia dibilang tukang sihir. Kemudian bercerita pula tentang seseorang yang mampu menjelajah angkasa raya, bahkan sampai mendarat di bulan dan sebagainya. Maka dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi terhadap seseorang yang bercerita seperti ini. Tidak pelak lagi, dia pasti akan dituduh sebagai seorang pengkhayal, seorang yang aneh, bahkan dianggap gila. Hal‑hal semacam ini, meskipun masih termasuk ke dalam ruang lingkup alam dunia yang bersifat inderawi, tapi kita teramat yakin, pada saat itu akal manusia tidak akan mampu menerimanya. Apalagi dengan hal‑hal yang berbau alam ghaib? Tentunya akal lebih sulit untuk menganalogikan dan menerimanya, kecuali hanya dengan satu hal, “iman!”, bagi orang-orang yang hatinya bersih.

Hal inilah yang dialami oleh baginda Rasulullah Saw ketika menyampaikan peristiwa ini, secara spontan orang‑orang Qurays mengatakan bahwa beliau adalah seorang pembohong, pengkhayal dan bahkan dituduh sebagai seorang yang telah gila, Sehingga tidak sedikit orang‑orang yang masih tipis imannya menjadi murtad kembali dari agama Islam.

Pada zaman kita sekarang, tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita, bila seseorang mampu mendeteksi kondisi luar angkasa hanya melalui sebuah layar komputer, yang sama sekali tidak mempunyai sambungan kabel ke luar angkasa sana. Betapa banyak ilmu‑ilmu baru yang masih akan ditemukan oleh manusia di masa mendatang, yang mungkin pada saat ini masih kita anggap sebagai sesuatu yang mustahil. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang mengatakan:

سنزيهم آيتنا في الآفاق وفي أنفسهم حتي يتبين لهم أنه الحق، أو لم يكف بربك أنه علي كل شيء شهيد. (فصلت: 53)
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda‑tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri. Sehingga jelas bagi mereka, bahwa AI‑Qur'an itu adalah benar. Apakah Tuhanmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”. (QS. 41:53).

B. Beberapa Peristiwa Penting Menjelang Isra` dan Mi’raj
Sebagian ulama berpendapat, bahwa tujuan Isra dan mi'rai adalah merupakan hiburan untuk mengangkat hati Rasulullah Saw yang sebelumnya telah mengalami berbagai cobaan dan ujian dalam mengemban dakwah Islam. Setidaknya ada tiga cobaan besar yang pernah dialami Rasulullah Saw sebelum peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, yaitu: pengasingan sosial yang dilakukan kaum Qurays terhadap Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim, Wafatnya dua orang yang sangat dicintai Rasulullah Saw dan yang selama itu senantiasa menjadi penopang dakwah nabi, yaitu pamannya Abu Thalib dan Istrinya Khadijah binti Khuwailid yang senantiasa setia mendampingi Rasulullah dalam pahit getirnya mengemban risalah dakwah. Sehingga tahun terjadinya cobaan ini sering diistilahkan dengan tahun kesedihan (Âm al Huzni), dan soal penolakan masyarakat Thaif terhadap dakwah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Bukan hanya sekedar penolakan, bahkan lebih dari itu, dimana Rasulullah Saw dilempari dengan batu sehingga mengakibatkan kaki beliau bersimbah darah. Selanjutnya akan kita uraikan tiga cobaan itu secara lebih terperinci.

1. Pengasingan
Pada tahun ketujuh sejak kenabian Muhammad saw, seluruh kabilah musyrikin Qurays berkumpul dan sepakat untuk memboikot Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim dari kegiatan sosial. Bentuk kesepakatan blokade ini adalah: larangan berhubungan jual beli, dan berbicara dengan mereka. Menurut kesepakatan, pengasingan ini hanya bisa dicabut apabila Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim menyerahkan Muhammad ke tangan mereka untuk dibunuh. Dokumen kesepakatan pengasingan ini ditempelkan pada dinding dalam Ka'bah agar tidak bisa dilihat dan dicabut oleh siapapun.

Dengan ini berarti Qurays telah mengumumkan mulai berlakunya resolusi pengasingan sosial terhadap nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya, dan yang telah memeluk ajaran Islam secara khusus, juga terhadap Bani Abdul Muthallib dan Bani Hasyim secara umum walaupun belum masuk agama Islam. Mereka dihimpun disebuah lembah kering yang jauh dari sumber makanan, yang disebut sebagai lembah Abu Thalib. Pengasingan yang tidak berperikemanu­siaan ini berjalan selama tiga tahun lebih. Dalam jangka waktu sepanjang itu, Bani Abdul Muthallib dan Bani Hasyim tidak diperkenankan menjual atau membeli barang apapun di pasar. Sehingga rintihan kelaparan dan tangisan kehausan, selalu terdengar dari kaum tertindas ini. Tidak sedikit diantara mereka yang mengikatkan batu pada perut sekedar untuk menahan rasa lapar yang mereka derita, tidak sedikit diantara mereka yang makan dedaunan untuk sekedar menyumpal perut kosong. Sementara Abu Jahal dan para pengikutnya selalu awas dan waspada terhadap siapa saja yang berani melanggar ketentuan resolusi yang telah disepakati bersama ini. Abu Jahal tidak pernah merasa tersentuh mendengar tangisan bayi dan rintihan orang tua yang sedang menderita kelaparan. Yang terpenting bagi Abu Jahal hanyalah, bagaimana Bani Abdul Muthallib dan Bani Hasyim bersedia menyerahkan nabi Muhammad untuk dibunuh atau mau berhenti dari kegiatan dakwah yang diembannya.

Pada tahun kesepuluh dari kenabian, atas kebesaran Allah Swt, Rasulullah bermimpi, bahwa dokumen kesepakatan yang terdapat di dalam ka'bah itu telah terhapus dimakan rayap, kecuali sedikit tulisan nama Allah yang masih tersisa di dokumen terlaknat itu. Mimpi ini beliau ceritakan kepada pamannya Abu Thalib, Abu Thalib pun mempercayainya. Akhirnya Abu Thalib mendatangi kumpulan kafir Qurays dan menceritakan apa yang telah ia dengar dari keponakannya. Selanjutnya ia mengatakan: "Allahlah yang telah menghancurkan dokumen kalian yang biadab dan terlaknat itu. Jika benar apa yang dikatakan oleh keponakanku, maka kalian harus menghentikan pengucilan dan pengasingan yang tak berperikemanusiaan ini, dan jika ia berbohong maka akan aku serahkan ia kepada kalian untuk dibunuh".

Kafir Qurays menerima syarat yang diajukan oleh Abu Thatib itu dengan senang, dan mereka merasa bahwa kemenangan segera akan mereka peroleh. Karena mereka sangat yakin, bahwa apa yang dikatakan Muharnmad adalah tidak benar dan mustahil terjadi, sebab dokumen yang dicap dengan tiga stempel itu selalu berada dalam perut ka'bah dan belum pernah dilihat dan disentuh manusia. Mereka bersama­-sama pergi ke ka'bah untuk membuktikan siapa yang akan menang. Sesampai mereka di sana, ternyata yang mereka temui sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. Akhirnya, dengan perasaan marah mereka terpaksa menghapus kesepakatan pengasingan itu. Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim diperbolehkan kembali ke rumah mereka masing-­masing dan bergaul seperti sedia kala.

2. Tahun Kesedihan (‘Âm AI Huzni)
Belum lama Rasulullah merasakan kebebasan dari cobaan pedih berupa pengasingan sosial, yang dilakukan oleh kafir Qurays, cobaan baru yang tak kalah pedihnya pun menimpa. Yaitu wafatnya Abu Thalib, sang paman dan sekaligus sebagai wali bagi baginda Rasul yang ditinggal ayahnya, Abdullah, semenjak beliau berada dalam kandungan ibunya. Abu Thaliblah yang bertanggung jawab atas keselamatan Rasulullah dan selalu melindungi dan menjaganya dari usaha pembunuhan kafir Qurays. Selang beberapa hari setelah wafatnya Abu Thalib, menyusul lagi cobaan yang sangat sulit ditanggung Rasululah, yaitu wafatnya sang istri tercinta Khadijah binti Khuwailid. Maka komplitlah sudah kesedihan yang dialami oleh Rasulullah. Beliau kehilangan penolong dakwah dengan kematian Abu Thalib, dan kehilangan pendamping setia dengan kematian Khadijah binti Khuwailid. Di masa hidupnya, Abu Thalib boleh dikatakan sebagai perisai bagi keberhasilan dakwah Rasulullah. Beliau selalu tampil sebagai pembela tatkala Rasulullah menghadapi ancaman pembunuhan dan penyiksaan dari kafir Qurays. Sementara Khadijah selalu menjadi penyejuk hati dikala gundah, dan menjadi penghibur dikala mendapat kesulitan.

Dengan kepergian Abu Thalib dan Khadijah, berarti Rasulullah telah ditimpa oleh dua musibah besar, yaitu kehilangan penolong dan kehilangan orang sebagai tempat bercerita dan berbagi duka. Pada masa inilah kesedihan yang dialami Rasulullah sampai pada puncaknya. Sehingga tahun ini dikenal sebagai tahun kesedihan (Âm al Huzni).

Memang sebuah kenyataan bahwa kematian Abu Thalib adalah musibah besar dalam kehidupan Rasulullah, karena setelah kepergian beliau, kafir Qurays semakin leluasa menyiksa dan merealisasikan usaha pembunuhan terhadap baginda Rasul, yang tidak pernah bisa mereka lakukan ketika Abu Thalib masih hidup.

Demikian juga halnya dengan kepergian Khadijah, merupakan musibah yang besar dalam kehidupan dakwah Rasulullah saw. Perasaan sedih meliputi beliau, tatkala berada di luar rumah tak didapati lagi Abu Thalib sebagai penjaga dari kejahatan kafir Qurays, dan pulang kerumah hanya menemui sebuah kekosongan, tidak ditemui lagi sang istri yang selalu mengucapkan kata sabar dan selalu mendorong untuk tetap bersemangat malanjutkan perjuangan dakwah. Dimana sekarang hati yang sangat besar itu? Yang bisa menjadi tempat mengadu tatkala butuh pengaduan, yang bisa menyejukkan perasaan dikala kepanasan. Dimanakah akal yang cerdas itu? Yang bisa memberikan solusi dalam berbagai kesulitan, yang selalu membantu dalam menyelesaikan setiap problem yang dihadapi. Dimana jiwa yang wilas asih itu? Yang selalu bersedia menanggung penderitaan dan beban berat dalam memperjuangkan kebenaran. Dimana Khadijah sang istri yang setia? Yang menyatakan iman tatkala orang‑orang mengingkarinya, yang membenarkan tatkala orang‑orang mendustakannya. Dimana sang dermawan itu? Yang menginfakkan hartanya untuk kepentingan agama Allah. Dimana suasana kemesraan itu? Yang selalu diliputi rasa cinta dan kasih sayang, yang selalu mendorong untuk tetap berjuang dengan tegar dan kekuatan. Semuanya telah pergi, seiring dengan kepergian Khadijah menemui Tuhannya. Alangkah mengharukannya, ketika Khadijah sakit ia melihat Rasulullah dalam keadaan sedih, karena membayangkan bagaimana Khadijah yang dulunya hidup mewah dan kaya raya, sekarang terbaring sakit dengan tidak memiliki apa‑apa. Namun apa yang terucap dari mulut wanita yang ikhlas ini? "Wahai Rasulullah, janganlah engkau bersedih, kalaupun ada jalan yang terputus untuk keberhasilan dakwah ini, dan tidak ada papan sebagai jembatannya, saya bersedia menyerahkan tubuh ini sebagai penggantinya!". Siapakah kiranya yang tidak akan bersedih ditinggal seorang istri mulia seperti ini? Rasulullah sebagai manusia biasa (Basyar), juga tidak luput dari perasaan sedih bila ditimpa musibah yang amat besar seperti ini.

Penulis buku "Sîrah Nabawiyyah wa Atsar Muhammadiyyah" mengatakan: "Setelah Abu Thalib meninggal, permusuhan kafir Qurays semakin menjadi-jadi terhadap Rasulullah. Berbagai penyiksaan diarahkan kepadanya tanpa ada lagi yang membela. Pada suatu hari Rasulullah pulang ke rumahnya dengan kepala penuh dikotori tanah bekas Iemparan kafir Qurays, sehingga salah seorang putrinya membersihkan kepala yang mulia itu sambil menangis. Rasulullah berkata: "Wahai anakku, janganlah engkau menangis! Karena Allahlah yang akan melindungi bapakmu ini". Sehingga akhirnya Rasulullah mengatakan: "Belum pernah Kafir Qurays melakukan hal seperti ini kepadaku, hingga wafatnya Abu Thalib".

3. Berdakwah ke Thaif
Dengan diliputi kesedihan yang tiada taranya di kota Mekah, Rasululah tidak pernah merasa putus asa menyebarkan dakwahnya. Setelah lebih kurang sepuluh tahun berdakwah di Mekah, namun tidak mendapat hasil positif dari kaumnya, beliau berfikir untuk berdakwah di luar Mekah. Tempat yang terpikir oleh beliau adalah daerah Thaif, daerah dimana sewaktu Rasulullah masih bayi pemah disusui oleh Halimatus Sa'diyah. Beliau berharap kalau masyarakat Thaif mau menerima dakwahnya, sehingga bisa menjadi basis bagi perjuangan dakwah untuk masa‑masa mendatang.

Namun antara apa yang dibayangkan dengan realita yang beliau temui ternyata sangat bertolak belakang. Dengan rasa kebencian peminpin Thaif menolak dakwah Rasulullah, seraya mengatakan: "Keluarlah engkau dari negeri kami ini, cari tempat lain yang engkau sukai. Kami sangat takut akan terjadi kekacauan di tengah masyarakat dan kerusakan terhadap agama mereka".

Sebagaimana masyarakat Thaif tidak ramah menyambut kedatangan Rasulullah, begitu pula halnya Rasulullah keluar dari Thaif dengan pengusiran dan kekerasan. Pemimpin Thaif mengerahkan masyarakatnya yang bodoh‑bodoh beserta anak-anaknya untuk mengusir Rasulullah dengan lemparan batu. Sehingga kedua kaki Rasulullah penuh luka, berlumuran darah.

Rasulullah hanya mampu menadahkan tangannya kepada Allah ketika meninggalkan Thaif, beliau adukan semua kelemahan dan ketidak berdayaannya kepada yang Maha Perkasa. Pengaduan Rasulullah ini terabadikan dalam do'anya yang sangat masyhur: "Ya..Allah, aku mengadukan kepada-­Mu tentang kelemahanku.., ketidak berdayaan yang aku miliki.., rendahnya aku di hadapan manusia. Ya..Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.., Engkau adalah Tuhan orang‑orang yang tertindas.., dan Engkau adalah Tuhanku..kepada siapa akan Engkau serahkan diriku ini? Apakah kepada orang jauh yang akan memberengutku..? Ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli.., akan tetapi ampunan-Mu yang Maha Luas sangat aku harapkan. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi segala kegelapan, Yang dengan itu urusan dunia dan akhirat ini akan menjadi baik, dari kemarahan-Mu kepadaku, dan dari kemurkaan-Mu yang akan Engkau timpakan kepada diriku, serta dari seluruh cela yang aku miliki, sehingga Engkau ridha kepadaku. Tidak ada kekuatan dan daya upaya kecuali hanya milik‑Mu, ya..Allah!'

Maka dari sekian banyak ujian dan cobaan yang dialami baginda Rasul di tahun sepuluh kenabian ini, kemudian dinamakan sebagai tahun kepedihan dan kesedihan. Namun Kondisi seperti ini terus berlanjut dengan perjuangan dan pengorbanan Rasulullah yang tak mengenal putus asa. Sementara para musuh Allah, terus saja melancarkan makarnya kepada Rasulullah Saw.

Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, semua peristiwa diatas terjadi dengan kehendak-Nya. Dan perlindungan Allah Swt selalu menyertai Nabi Muhammad. Karena itu, Allah memerintahkan agar Rasulullah bersabar, demi memantapkan hati beliau terhadap kebenaran janji‑janji Allah, seperti yang kita temui dalam AI‑Qur'an.

Alangkah mulianya seorang da'i yang telah mengorbankan dirinya untuk kepentingan umat manusia, menahankan berbagai kepedihan dan penderitaan dari sikaan musuh‑musuh AIlah yang durjana. Sebagai seorang manusia, tentu saja Rasulullah tidak luput dari rasa sedih dan duka bila menemui orang‑orang yang menolak dakwahnya, sementera beliau sangat ingin agar mereka mendapat hidayah, dan berada dalam keimanan.

Maka telah tiba saatnya Rasulullah mendapatkan udara baru, untuk mengurangi kesedihan yang tak terperikan ini, guna membangkitkan kembali kekuatan jiwa dan semangat juang untuk menyebarkan agama Allah di muka bumi ini.

Maka menginjak tahun sebelas kenabian, suatu peristiwa besar terjadi, peristiwa yang sempat menghebohkan kota Mekah, dan menjadi buah pembicaraan yang tak putus-­putusnya hingga sekarang. Yaitu perjalanan unik yang dilakukan oleh seorang hamba di muka bumi pada malam hari, yang dilanjutkan dengan perjalanan ke langit. Itulah peristiwa Isra' dan Mi'raj nabi besar Muhammad saw, yang selalu diperingati oleh umat Islam setiap tahunnya di seantero dunia.
Perjalanan ini, Allah sendiri yang menentukan waktu, tempat, tujuan, dan maksudnya. Hal ini temaktub dalam firman Allah dalam surat Al‑Isra Ayat 1 yang berbunyi:
سبحان الذي أسري بعبده ليلا من المسجد الحرام الي المسجد الأقصي الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير. (الإسراء: 1).

"Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-­Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha, yang Kami berkahi sekelilingnya. Untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda‑tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. 17: 1).

Waktunya adalah pada malam hari (Lailan). Tempatnya adalah dari Al Masjidil Haram di Mekah ke Al Masjidil Aqsha di Palestina (Minal Masjidil Haram iIaI MasjidiI Aqsha) untuk perjalanan di atas bumi, dan dari Al Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha untuk perjalan ke langit sampai ke al Mala` al A'la bertemu dengan Allah Swt. Sementara tujuannya adalah untuk memperlihatkan tanda‑tanda kebesaran Allah kepada nabi Muhammad serta keagungan kekuasaan‑Nya (Linuriyahu min aayaatinaa).

Dari sini jelaslah bagi kita rahasia dan hikmah yang terdapat pada peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, bukan hanya sekedar mujizat bagi Rasulullah, akan tetapi juga, merupakan penghormatan kepada Rasulullah untuk sampai ke Al ­Mala` AI A'la dan sebagai hiburan, serta pelajaran penempaan iman bagi beliau. Lebih dari itu untuk Iebih menenangkan hati baginda Rasul serta lebih menambah keyakinannya dengan bisa melihat langsung tanda‑tanda kebesaran Allah, sesuai dengan firman Allah yang mengatakan: "Linuriyahû min âyyâtinâ" (Agar Kami perlihatkan kepadanya dari tanda­-tanda kebesaran Kami) serta dalam firman‑Nya dalam ayat yang lain "Laqad ra`aa min aayyati rabbihil kubro" (Sungguh ia telah melihat tanda‑tanda kekuasaan Tuhannya yang amat besar).

4. Persiapan fisik dan mental Muhammad saw
Menjelang keberangkatan Rasul melakukan Isra' dan Mi'raj, beliau didatangi oleh utusan Tuhan, yang membedah dada dan membersihkan hati beliau dengan air, sebagai persiapan menghadapi perjalanan rabbaniyah yang amat aneh. Selanjutnya hati yang bersih itu, dipenuhi dengan hikmah dan keimanan. Setelah itu barulah Rasulullah diperjalankan ke Baitul Maqdis sampai ke Sidratul Muntaha menemui Allah.

Sebagian pengkaji rasionalis, mengingkari eksistensi peristiwa pembedahan dada Rasul ini. Padahal kalau kita perhatikan perkembangan ilmu pengetahuan di era teknologi canggih sekarang, dimana seorang astronot harus dibekali dengan oksigen atau bekal lain justru memperkuat peristiwa itu sendiri. Apalagi bagi kita seorang muslim beriman terhadap hadits‑hadits shahih Rasulullah Saw yang berkenaan dengan peristiwa ini.

Kita melihat peristiwa ini, tidak lebih dari sebuah kehendak Allah yang ingin memperjalankan hamba‑Nya, dengan aturan‑aturan Allah itu sendiri. Peristiwa ini sendiri hanyalah salah satu mujizat dari sekian banyak mujizat yang diberikan Allah kepada para nabi.

Isra' dan mi’raj adalah sebuah perjalanan dengan aturan Allah, yang juga menurut sunnatullah tetap membutuhkan persiapan tertentu yang matang, baik dari segi fisik maupun mental. Sedangkan seorang astronot pada zaman sekarang, untuk pergi ke bulan saja membutuhkan berbagai persiapan dan latihan yang sangat pelik, agar mampu menghadapi berbagai kondisi. Maka tidak heran jika Rasulullah yang akan menempuh sebuah perjalan, yang diatur langsung menurut skenario Tuhan, juga membutuhkan persiapan menurut aturan Tuhan pula, yang barangkali sulit dicerna oleh sebagian akal manusia.

Menurut penelitian para ahli hadis, seluruh hadis Nabi yang berbicara tentang pembedahan dada nabi ini dapat diterima, sesuai dengan syarat syahnya suatu hadits. Kalaulah demikian halnya, dan mayoritas periwayat hadits sepakat membenarkannya, maka gugurlah semua pernyataan orang-­orang yang mengingkari keberadaan peristiwa itu.

Menurut para ahli sejarah Islam, peristiwa pembedahan ini telah terjadi sebanyak empat kali bagi Rasulullah saw, yaitu:
Pertama, ketika menginjak umur tiga tahun, yaitu sebulan setelah kembali dari rumah Halimatus Sa'diyah, Ibu susuannya. Peristiwa ini terjadi dalam lingkungan perumahan Bani Saad.

Kedua, ketika berumur sepuluh tahun, dan peristiwa ini terjadi di Makkah Al Mukarramah.
Ketiga, ketika berumur empat puluh tahun, yaitu menjelang menerima wahyu pertama kali, sebagai penobatan beliau menjadi utusan Allah.

Keempat, ketika berumur lima puluh tahun, yaitu pada malam Isra' dan Mi'raj.
Seluruh peristiwa ini, bisa kita temui dalam hadits‑hadits nabi yang shahih. Mungkin saja sebagian orang bertanya, apa hikmah dari berulang kalinya peristiwa pembedahan dada rasul ini? Secara ringkas, di sini dapat penulis kemukakan pendapat ulama tentang itu:
Dari pembedahan pertama adalah, agar Rasulullah tumbuh sebagai manusia sempurna, dan terbebas (ma'shum) dari godaan setan.

Dari peristiwa kedua adalah, untuk menambah kesucian hati nabi memasuki usia dewasa yang lebih banyak menghadapi tantangan hawa nafsu.

Dari pembedahan ketiga, menjelang pertama kali menerima wahyu, hikmahnya adalah bahwa yang akan diturunkan Allah kepadanya adalah Kalam suci, oleh sebab itu hendaklah tempat bersemayamnya harus juga suci secara sempurna, yaitu hati nabi.

Pada peristiwa keempat, yaitu ketika beliau akan berangkat Isra' dan Mi'raj. Hikmahnya adalah agar beliau dalam menghadap dan bertemu Tuhan tidak memiliki sedikit nodapun.
Demikianlah diantara hikmah pembedahan dada nabi, dan tentu saja tidak terbatas pada hal‑hal yang telah kita sebutkan itu saja.

C. Peristiwa Isra' dan Mi'raj
Peristiwa Isra' dan Mi'raj termasuk peristiwa sejarah yang sangat banyak mendapat perhatian dan perbincangan para ilmuwan sosial. Diantara ahli sejarah, ada yang sangat berlebihan dalam memandang kedudukan nabi Muhammad berikut mu’jizatnya, ada pula sebaliknya, mengingkari sama sekali keberadaan mujizat dalam perjalanan sejarah hidup seorang nabi.

Menurut Dr. Muhammad Said Ramadhan Al Buty, dalam bukunya "Fiqhus Sîrah An Nabawiyyah". Bahwa adanya pandangan yang mengingkari mu’jizat Nabi dalam peristiwa Isra' dan mi'raj ini, berasal dari para orientalis yang turut mengkaji peristiwa Isra' dan Mi'raj tanpa terlebih dahulu didasari keimanan terhadap hal‑hal yang ghaib. Sehingga fenomena apapun dalam sejarah, selalu mereka ukur dengan logika akal yang terbatas. Diantara para orientalis yang memiliki pandangan seperti ini adalah Gustaf Lobon, Ougust Comte, Hume, Gold Ziher dan banyak lagi yang lainnya. Sebagai sebab utama dari pandangan mereka seperti ini adalah, karena tiadanya iman terhadap pencipta mujizat itu sendiri. Karena jika iman kepada Allah telah tertanam di dalam jiwa seseorang, maka akan mudah untuk mengimani segala sesuatu yang Iebih mudah dari pada itu.

Sayangnya, pemikiran seperti ini tidak hanya dimiliki oleh para orientalis kafir saja. Akan tetapi telah diadopsi juga oleh sebagian pengkaji dari kalangan kaum muslimin sendiri, yang terlalu silau dengan istilah metodologi ilmiyah –padahal subjektif-- yang digembar‑gemborkan Eropa. Sehingga akhirnya mereka berpandangan bahwa yang melakukan Isra' dan Mi'raj itu hanyalah ruh nabi, bukan fisiknya (jasadnya). Karena menurut mereka, mustahil tubuh nabi yang material dan terbuka itu bisa menembus lapisan langit dalam waktu yang sangat terbatas.

Namun pandangan seperti ini telah banyak dibantah ole para ulama Islam, bahwa kata‑kata ‘abdihi (hamba‑Nya) dalam surat AI‑Isra' ayat 1 itu adalah terdiri dari unsur ruh dan tubuh. Karena dalam bahasa Arab, ruh saja tidak cukup untuk bisa dikatakan sebagai hamba, begitu sebaliknya bahwa tubuh saja tidak bisa dikatakan sebagai hamba. Yang dikatakan sebagai seorang hamba mesti terdiri dari gabungan unsur ruh dan tubuh.
Selanjutnya di bawah ini kita masuk ke dalam pembahasan peristiwa Isra' dan mi’raj menurut pandanga ulama Islam.

1. Mulai Perjalanan Isra (Dari Al Masjidil Haram ke Al ­Masjidil Aqsha)
Sumber kisah-kisah tentang perjalanan yang penuh misteri itu adalah kata‑kata pada permulaan Surah Al‑isra yang berbunyi:
سبحان الذي أسري بعبده ليلا من المسجد الحرام الي المسجد الأقصي الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير. (الإسراء: 1).

"Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba Nya dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda‑tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat".

Dalam kitab sirahnya, Ibnu Ishaq menggambarkan kisah Isra' dan mi'raj ini sebagai berikut: Suatu malam Jibril membawa nabi naik ke atas punggung samawi yang disebut Buraq; lalu Muhammad Saw mengadakan perjalanan bersama Jibril. Dan dalam perjalanan malam ke Yerussalem, Rasulullah diperlihatkan dengan berbagai keajaiban. Dan sesampainya di Masjidil Aqsha, Rasulullah bertemu dengan nabi‑nabi terdahulu, sekaligus mendapatkan penghormatan untuk mengimami shalat bersama mereka.

AI Buroq, dalam bahasa Arab menurut sebagian pendapat berasal dari kata "Al Barq" yang berarti kilat. Boleh ditafsirkan bahwa penggunaan nama ini dalam Al Qur'an adalah untuk menunjukkan kecepatan yang tiada tara dari jenis kendaraan ini.

Di dalam buku‑buku hadis, Al buroq ini digambarkan sebagai kuda putih yang sangat indah. Oleh sebab itu logika orang Arab pada zaman Rasulullah Saw tidak dapat menerima peristiwa Isra dan mi'raj yang diceritakan oleh baginda Rasul ini. Karena mereka mengetahui bahwa seseorang yang mengendarai kuda pulang pergi dari Mekah ke PaIestina akan memakan waktu selama lebih kurang dua bulan. Sementara Rasulullah mengatakan kepada mereka, bahwa beliau telah pergi ke Masjidil Aqsha dan di lanjutkan lagi dengan perjalanan mi'raj ke langit tinggi, hanya dalam waktu satu malam. Sehingga berita yang disampaikan oleh rasul tercinta ini, menjadi bahan tertawaan dan cemoohan bagi orang‑orang yang mempunyai penyakit dalam hatinya, yaitu orang‑orang kafir Qurays yang mengingkari kebenaran ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Lain dengan kita yang hidup pada era teknologi canggih sekarang ini, dimana para ilmuwan telah mampu menemukan kecepatan sebuah teknologi yang melebihi kecepatan cahaya dan suara, yang secara aksiomatis sudah pasti akan mengurangi panjangnya masa dalam menempuh sebuah perjalanan, dan secara otomatis manusia pada zaman sekarang dapat memahami bahwa sesuatu perjalanan sejauh manapun bisa dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dari yang terjadi pada masa‑masa sebelumnya.

Seandainya saja orang‑orang kafir yang menentang Rasulullah itu masih hidup bersama kita sekarang ini, tentu saja mereka akan melihat kebenaran apa yang disampaikan Rasulullah kepada mereka. Ternyata hal itu bukan merupakan sesuatu yang mustahil dalam kehidupan kita sebagai manusia biasa di zaman ini, apatah lagi kiranya bagi seorang rasul Allah yang dikehendaki sendiri oleh Allah sebagai Sang Pencipta.

Dalam waktu yang sangat singkat, Rasulullah telah sampai di "Al Bait Al Maqdis". Di sana beliau bertemu dengan para nabi terdahulu, dan mengimami shalat. Sesungguhnya Isra' dan Mi'raj adalah perjalanan yang penuh dengan keberkahan, antara Masjidil Haram yang dibangun ole Nabiyullah Ibrahim dan anaknya Isma'il ‘Alaihimassalam di Mekah dan Masjidil Aqsha yang dibangun oleh Nabiyullah Daud dan Sulaiman ‘AlaihimassalamI di Palestina. Kedua rumah suci ini telah diberkahi oleh Allah swt. Demikian juga dengan apa yan terdapat disekitarnya, demikian yang termaktub dalam firman Allah. Sehingga tempat ini benar‑benar menjadi pusat peribadatan dan pengesaan kepada Allah Swt, dan pada kedua tempat suci inilah wahyu‑wahyu Allah diturunkan kepada para rasul‑Nya.

Dalam perjalanan menuju Masjidil Aqsha, Rasulullah Saw sempat singgah di suatu bukit yang penuh berkah, dimana Nabi Musa As pernah menerima wahyu langsung dari All swt, yaitu "Bukit Tursina", dan rasulullah shalat dua rakaat di tempat itu. Disamping itu rasulullah juga mampir di tempat kelahiran nabi Isa As, yaitu di sebuah bukit mubarakah yan disebut "Betlehem (“baitullhami”, bahasa Arabnya)" dan beliau pun shalat dua rakaat. Akhirnya sampai di "Baitul Maqdis". Di tempat suci inilah, beliau bertemu dengan nabi Ibrahim dan Musa di tengah kumpulan para nabi dan rasul Allah yang lain. Di tempat ini juga Rasulullah Saw shalat sebagai imam bagi para nabi. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa malaikat Jibril datang kepada Rasulullah dengan membawa dua gelas minuman, satu berisi anggur, dan satu lagi berisi susu. Kemudian Rasulullah memilih gelas yang berisi susu. Jibril berkata: "Engkau telah memilih Fithrah”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Selanjutnya barulah Rasulullah melanjutkan perjalanan ke langit, yang disebut dengan "mi’raj'. Dalam peristiwa mi'raj inilah rasulullah melihat tanda‑tanda kebesaran Allah yang Maha Agung (min aayaati Rabbihil Kubra). Bersambung ke bag. 2... (klik di sini)

0 comments:

Post a Comment